SEJARAH DESA WISATA PLAGA
Menyimak sejarah Desa Pelaga yang berdasarkan suatu data dan fakta relevan dan realleble adalah merupakan suatu hal yang langka. Namun demikian dengan metode interview dari tetua-tetua atau para penglingsir di Desa Pelaga, maka dapat kami bentang sekilas mengenai “Sejarah Desa Pelaga” yang juga kami sadur dalam lontar “Medang Kemulan” yang memang ada hubungannya dengan sejarah Desa Pelaga. Sebagaimana yang dapat kami paparkan sebagai berikut :
Pada jaman dahulu kira-kira pada abad IX yaitu pada jaman Pemerintah Raja Jaya Pangus berdirilah sebuah Kerajaan Gegelang di samping permasurinya sang raja pun mempunyai seorang selir. Alkisah dari seorang selir tersebut sang raja menurunkan putra laki-laki tertua sedangkan dari permaisuri sang raja menurunkan putra laki-laki yang lebih muda. Betapa bahagianya keluarga sang raja saat itu sehingga putra-putra raja menginjak usia remaja. Melihat putra-putranya sudah menginjak dewasa maka tahta sang raja (ayahnya), maksud sang raja tersebut sampai juga ke telinga rakyatnya Kerajaan Gegelang yang pada saat itu aman, tentram dan sentosa.
Berdasarkan hal tersebut maka kini timbullah keresahan-keresahan di masyarakat Gegelang, mengenai putranya yang mana berhak menggantikan tahta ayahnya mengingat putra raja pertama adalah dari keturunan selir, sedangkan putra raja yang kedua adalah keturunan dari permaisuri. Walaupun demikian, adanya desas-desus yang ada di masyarakat Gegelang pada saat itu maka sebagian besar masyarakat Gegelang cenderung memilih putra raja dari keturunan permaisuri raja. Desas-desus rakyat Gegelang yang demikian sampai juga ke telinga putra pertama. Putra pertama raja merasa tersinggung, merasa disepelekan, merasa diremehkan sebagai putra raja yang pertama dan beranggapan putra raja yang pertamalah yang berhak menggantikan kedudukan ayahnya, tanpa memperhatikan keturunan permaisuri atau keturunan selir. Oleh karena itu, putra yang pertama merasa dengki, iri hati terhadap adiknya dari keturunan permaisuri. Putra raja pertama beranggapan bahwa dialah yang berhak menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Raja Gegelang. Untuk mewujudkan cita-citanya itu terlebih dahulu harus menyingkirkan penghalang-penghalang yang ada. Satu-satunya penghalang demi lancarnya cita-cita putra raja pertama adalah adiknya sendiri dari keturunan permaisuri. Untuk itu putra raja pertama berencana membunuh adiknya secara rahasia sebelum dilangsungkan upacara penobatan adiknya sebagai Putra Mahkota yang nantinya akan menggantikan kedudukan ayahnya. Kemudian Putra Raja Pertama memanggil Maha Patih Kerajaan Gegelang untuk menyampaikan rencananya semula sudah tentu hal ini disampaikan secara rahasia pula.
Pada saat itu hubungan kakak dan adik sebagai putra-putra raja sangatlah akrab, seolah-olah tidak ada niat jahat yang terkandung di hati salah satu pihak putra raja. Pada saat yang telah ditentukan melaksanakan niat jahatnya, maka putra raja pertama mengajak adiknya berburu ke tengah hutan dengan dikawal oleh maha patih yang telah di ajak bersekongkol dengan membawa peralatan berburu. Maka berangkatlah kedua putra-putra Raja Gegelang tersebut ke tengah hutan dengan di kawal maha patih kerajaan.
Sesampainya di tengah hutan yang menurut perkiraan putra raja pertama rasanya aman untuk melaksanakan niat jahatnya. Maka maha patih tersebut diperintahkan untuk membunuh adiknya. Pada saat itu hutan benar-benar dalam keadaan sunyi senyap, kicauan burung hutan pun terhenti, binatang hutan enggan untuk bicara serta angin yang berhembus terhenti sejenak. Seakan terpaku menyaksikan kejadian pembunuhan Putra Raja Gegelang tersebut. Setelah adiknya betul-betul diperkirakan mati maka mayat adiknya diseret dan ditaruh di samping sebuah pohon kayu yang dalam keadaan lapuk seolah-olah mati tertimbun atau tertimpa oleh pohon kayu serta ditimbuni oleh daun-daunan sehingga tidak kelihatan. Dengan perasaan puas bahwa cita-citanya hampir terwujud maka putra raja pertama bersama maha patihnya pulang serta dengan menjaga agar kejadian itu tetap dirahasiakan.
Alkisah pada suatu hari ada seorang pemburu yang kemalaman di jalan dengan menunggangi kuda. Sang pemburu menelusuri jalan yang sangat gelap serta penuh dengan semak-semak. Pada sebuah tempat kudanya tidak mau berjalan lagi dan kebetulan pula pemburu itu sangat lelah. Dengan demikian sang pemburu memutuskan untuk bermalam di tengah hutan. Baru saja dia merebahkan badannya dia sudah tertidur pulas. Pada saat akan menjelang subuh sang pemburu mendengarkan sabda dari dewa penguasa jagat raya ini dalam temaram berbunyi : “Hai pemburu dengarkanlah baik-baik sabdaku ini, dimana rajamu kini sedang dalam keadaan bingung karena kehilangan seorang putranya yang terkasih. Hilangnya putra sang raja itu disebabkan tiada lain karena mati di bunuh di sebuah hutan, kejadian tersebut dapat diketahui dari kata-kata ini yaitu : “Pa-Ra-La-Ga”. Kata-kata tersebut mempunyai arti sebagai berikut : PA artinya Putra Ida, RA artinya Rakan Ida, LA artinya Langlang Duta, GA artinya Gegelang. Dari kata-kata PA, RA, LA, GA ini dapat disimpulkan mengandung pengertian sebagai berikut : Putra Sang Raja dari Permaisuri itu mati terbunuh yang di bunuh oleh kakaknya sendiri dan istri selir sang raja. Sedangkan sebagai pelakunya adalah seorang maha patihnya yang bernama Langlang Duta dan tempat pembunuhan itu terjadi di Hutan Gegelang / Alas Gegelang (Bahasa Bali), hanya sekianlah sabdaku segeralah pulang dan laporkan kepada raja, begitu sabda itu menghilang lenyap. Maka sang pemburu pun bangun dari tidurnya dan terus bangkit dari tidurnya, ia pun telah mendapatkan kudanya yang sendiri tadi telah menunggunya dan hari pun menjelang pagi. Teringat akan sabda yang didengarnya tadi malam maka dengan tanpa pikir panjang lagi ia pun menghadap Sang Raja Gegelang. Setibanya Sang Prabu di Keraton Gegelang. Alkisah pada saat itu sedang ada paseban agung / paruman agung yang dihadiri oleh para patih, para punggawa dan lain-lainnya. Membicarakan prihal hilangnya putra mahkota dengan terbata sang pemburu menghadap dan menceritakan prihal sabda yang didengarnya tadi malam di tengah hutan serta mengeja sabda itu : PA-RA-LA-GA yang mengandung makna bahwa hilangnya putra mahkota karena dibunuh oleh kakak tirinya yang dilakukan oleh Maha Patih Langlang Duta di tengah Hutan Gegelang.
Setelah selesai menceritakan hal sabda tersebut sang pemburu pun mohon ijin untuk pamit. Mendengar kisah sang pemburu yang demikian maka Sang Raja Gegelang langsung memerintahkan para maha patih, punggawa serta diikuti oleh para rakyatnya menyebar ke tengah hutan untuk menemukan jasad sang putra mahkota hal ini mencari yang melibatkan segenap kerabat kerajaan membuahkan hasil. Jasad putra mahkota ditemukan dalam tertimbun semak belukar di samping sebuah pohon runtuh yang telah rapuh. Jasad sang putra mahkota dibawa ke keraton dan Raja Gegelang pun murka dan kemurkaan itu membuat Sang Raja Gegelang sakit-sakitan dan meninggal. Sejak itulah Kerajaan Gegelang mengalami kehancuran dan hilang.
Berdasarkan hal tersebut lama-kelamaan di kalangan masyarakat sering membicarakan kata-kata PARALAGA dari mulut ke mulut. Kata-kata PARALAGA itu menjadi PALAGA dan selanjutnya kata PALAGA pun berubah menjadi PELAGA yang hingga pada saat ini wilayah Kerajaan Gegelang disebut menjadi wilayah Pelaga. Kalau kita hubungkan dengan wilayah Pelaga sekarang maka nama Gegelang pada saat ini masih dikenal oleh masyarakat. Hal ini menandakan bahwa dulu Pura Pucak Gegelang tersebut merupakan sebuah pusat Kerajaan Gegelang. Hal ini dapat dilihat dari pelinggih-pelinggih yang ada di Pura Pucak Gegelang sebagai berikut : Jaba Tengah terdapat Pelinggih Pesimpangan Ratu Sakti sebagai Tameng-Dada Sesuhunan di Pura Pucak Gegelang (Maha Patih Langlang Duta). Di Jeroan terdapat dua pelinggih yaitu :
Saren Kanginan dengan satu pelinggih yang merupakan sebuah Meru Tumpang Tujuh.
Saren Kaleran dengan sebuah pelinggih yang merupakan sebuah Meru Tumpang Tiga.
Peninggalan tertulis dari Pucak Gegelang ini masih di simpan di Banjar Pangsan dan Negara dalam keadaan yang sudah rapuh (rusak).
Berdasarkan dengan Desa Administratif yaitu Desa Pelaga yang sekarang ini merupakan gabung dari dua Desa Administratif yaitu Desa Pelaga dengan Perbekelnya I Dewa Made Rai (Almarhum) dan Desa Tiyingan dengan Perbekelnya Nang Kates (Almarhum).
Masing-masing desa ini ditunjang oleh empat dusun/banjar yang mana keadaan tersebut berlangsung kurang lebih tahun 1937 dan pada tahun 1957. Dua desa tersebut digabung menjadi satu Desa Administratif yaitu Desa Pelaga. Desa Pelaga sekarang terdiri atas Sembilan Banjar Dinas, delapan Banjar Adat dan delapan Desa Adat dan pada tahun 2007 Banjar Dinas Auman mekar menjadi satu banjar dinas persiapan serta ditetapkan difinitif banjar yaitu Banjar Dinas Bukit Munduk Tiying.